Firman Alloh

Senin, 02 Januari 2012

cerpen "Makan" karya Putu Wijaya


           Umumnya orang makan dua kali. Tapi Inong makan setiap kali ada kesempatan. Ia meniru kerbau dan ulat. Apa saja dimakannya. Menurut hematnya itu untuk menyimpan kekuatan dan sekaligus menghormmati makanan. Ia melihat banyak orang yang berkelebihan makan, tidak dapat lagi menikmati makan. “Mereka bahkan melakukan diet atas kehendak sendiri maupun karena terpaksa atas desakan dokter. Itu semua akibat tidak ada penghargaan pada makanan sebagaimana mestinya, “kata Inong.
            Ia tidak memilih, apa saja asal bisa dimakan digayamnya. Berapa tinggi kalori yang tersimpan dalam makanan sama sekali yak diperhatikannya. Ia tak peduli pada jumlah kolestrol. Satu-satunya prinsip yang diikutinya adalah bahwa makanan itu haruslah didapat dengan jerih payah sendiri.
            “Bukan karena pemberian orang lain. Baik karena belas kasihan atau sekedar tanda penghormatan. Untuk makanan yang berasala dari luar jerih payahnya, saya memang sangat berhati-hati bahkan cenderung menolak, “kata Inong.
            “Makanan yang tak berasal dari cucur keringatnya sendiri, itu yang mengandung kolestrol paling tinggi, berlemak  dan menjadi racun pada akhirnya, meskipun rasanya memang enak. Makanan yang merupakan hadiah itu memotong umur dengan ganas. Akal menjadi tumpul tetapi nafsu melonjak sampai diluar batas, sehingga tubuh kita tak mampu menerima tekanannya. Makanan seperti itu harus dijauhi.”
            “Juga harus dijauhi adalah makanan yang berasal dari cucur keringat yang tercela. Makanan hasil pencurian, perampokan, penipuan, bahkan kelicikan, sebenarnya bukan makanan , tetapi racun. Makanan seperti itu tak pernah enak dan tak pernah membuat kenyang. Makin baanyak kita makan, makin lapar kita dibuatnya. Hasil-hasil yang tak terpuji itu akan menyebabkan kita tumbuh terlalu cepat, menjadi raksasa dan memakan manusia lainnya. Itu saya tidak suka.”
            Yang amat mengherankan, meskipun Inong rakus makan, tubuhnya biasa-biasa saja. Tidak tambun, tetapi juga tidak kerempeng apalagi atletis. Ia biasa-biasa saja. Puluhan tahun ia tetap saja ajeg, padahal teman-temannya sendiri banyak yang sudah jadi gembrot dan ada juga yang jadi layu dan kering kerontang.

Ketika bentuk tubuh menjadi bertambah penting artinya, baik karena alasan medis maupun karena ciri-ciri status sosial berubah, Inong jadi penting. Banyak orang-orang kaya yang berlebihan berat datang kepadanya. Mereka tertarik pada teori Inong tentang makan yang tanpa batas, namun badan tetap asri.
            Inong tiba-tiba menjadi juru kelestarian tubuh, justru karena ia tidak mengharuskan harus bergerak badan lari-lari yang melelahkan itu. Ia tidak memaksa orang melakukan senam yang memerlukan ketekunan. Ia justru menjaga kelestarian tubuh dengan makan. “Bagaimana bisa lestari atau tubuh tidak dikasih makan. Mobil saja harus diberi minum bensin, apalagi mahluk hidup. Yang menghabiskan tenaga itu bukan hanya kerja badan, tetapi juga kerja otak, kerja perasaan. Semuanya itu memerlukan makanan. Bagaimana bisa tokcer, kalau tidak makan?” kata Inong.
            Melebihi pendekar-pendekar kelestarian badan yang banyak muncul di ibu kota, Inong menjadi sangat populer. Ia hanya mampu memelihara kesegaran jasmani tanpa menyiksa tubuh. Ia juga berhasil menunjukkan bahwa makan itu bukan pekerjaan terkutuk, bukan dosa, bukan penyakit, bukan tanda kerendahan kultur. “Makan adalah pengakuan terhadap dunia, penerimaan terhadap kehidupan nyata. Makan adalah peristiwa yang relijius, karena ketika makan itulah kita lebih meresapi lagi makna hidup yang diberikan oleh yang maha kuasa kepada kita., “ kata Inong. “Tapi asal ingat, inti makan yang sudah saya sebut-sebut dari dulu.”
            Kadang kala menghadapi sementara orang, inong tak mungkin mengucapkan secara terus terang konsepnya, karena itu mungkin bisa menyinggung perasaan. Perlahan-lahan bergeser, menghaluskan ucapan-ucapannya, teorinya, agak tak samapai menyinggung perasaan orang.
            “Inti sebetulnya tetap sama, jangan makan barang yang tidak berasal dari cucur keringat sendiri. Namun sebelum ada kesepakatan tentang apa yang dinamakan cucur keringat sendiri maka perlu dipergunakan bahasa yang tak menyinggung perasaan siapa-siapa,” kata Inong.
            “Makan apa saja, di mana saja, sebanyak-banyaknya, tubuh itu akan menolak dengan sendirinya kalau ia memang sudah kenyang, atau kalau ia tidak cocok dengan makanan itu dengan sendirinya ia akan menolak langsung. Tetapi yang jelas, makan harus diteruskan, jangan dikurangi jangan dibatas-batasi.”
            “Satu-satunya disiplin yang harus dipegang adalah jangan sampai memakan sesuatu karena dia tidak berlemak, memiliki kalori, memiliki kolestrol tinggi, bukan, bukan itu. Tetapi jangan samapai memakan sesuatu yang diperkirakan tidak akan habis dimakan. Jadi kalau makan, makan sampai habis. Kalau tidak sanggup menghabiskannya, jangan mencoba untuk memakannya.”
            “Misalnya, makanlah sepiring nasi dengan telor satu serta sepiring sayur, jangan sampai dua piring, tiga sayur, sebaskom sayur. Tetapi kalau memang mampu, kalau badan besar dan kebutuhan tenaga besar makanlah lima butir telor, satu kilo daging, satu kilo beras, sayur dan sebagainya termasuk tiga gelas air, silakan, karena tubuh besar membutuhkan banyak makanan. Asal sebanyak-banyak makan satu kali, jangan sampai mau makan pohon kelapa, makan tanah lapangan sebesar lapangan bola, jangan mau makan tugu Monas. Itu kan mustahil. Nanti bisa mati. Tapi kalau memang mampu, silakan, silakan, anda sendiri yang tahu kemampuan anda sendiri. Kalau memang mampu, jangankan sebatang pohon kelapa, satu gunung, laut, dan pulau juga silakan saja. Ya kan, benar tidak?”
            Semua orang puas dengan ajaran Inong. Ia sekali cepat terkenal. Semua orang dengan mudah dapat mengikuti nasehatnya. Orang-orang kaya tak perlu lagi dijauhkan dari makanan yang seenaknya. Orang-orang gendut tak perlu lari karena ada lemak. Semuanya, semuanya boleh dimakan selahap-lahapnya.
            Teori makan Inong menjadi gaya hidup. Tak ada orang yang takut makan. Tak ada orang yang merasa kampungan kalau makan terlalu rakus. Semua pengikut ajaran Inong membuka mulutnya dengan bebas.
            “Saya tidak mengajarkan sesuatu. Saya sebetulnya hanya mengucapkan apa yang dilakukan setiap orang sambil memberi aturan-aturan pakainya supaya tetap lestari. Yang nikmat itu bisa lestari. Yang enak itu basa tetap enak, asal kita bisa menjaga iramanya. Ini bukan gaya hidup, ini kenyataan, “kata Inong.
            Tetapi sudah terlambat. Gaya hidup makan itu jadi populer.
            Banyak orang mati kekenyangan.
            Sementara itu Inong sendiri perlahan-lahan jadi mapan, stabil dan kaya. Kepopulerannya mendatangkan rezeki. Dan karena itu orang mampu mengolah rezeki itu, kekayaannya mulai menumpuk. Hidupnya jadi sibuk, tidak hanya mengurus mulut, tetapi juga mengurus lompatan-lompatan rejekinya yang semakin cepat dan tinggi. Ia tidak hanya mengurus perutnya sendiri, tetapi mengurus perut puluhan orang lain. Kini mulutnya seribu, karena ia sudah jadi majikan.
            Dengan tanggungan seribu mulut dan seribu perut, Inong mulai keberatan, kalau mulut itu semuanya rakus. Kalau terbuka semua serentak, akan ternganga sebuah lubang yang besar, sehingga tertelan segala macam benda yang tadinya merupakan bagian rezekinya. Dengan menganjurkan mengukur besar perut sebagai ukuran lebar mulut, ia menghadapi orang-orang yang selalu kelaparan.
            Waktu itu Inong mulai mengubah langkah.
            “Makanan adalah musuh kita, karena dia selalu menggoda kita untuk melakukan lebih dari apa yang seharusnya. Lebih bahaya dari AIDS. Makanan harus diladeni dengan keras. Jangan membuka mulut terlalu lebar. Biasakan makan tidak kenyang, supaya kita tetap bisa menikmati sari-sarinya. Jangan makan ampas-ampas. Kurangi makan untuk menajamkan keawasan kita. Karena dalam keadaan sedikit lapar, kita selalu bisa jeli dan gemas untuk bekerja!”
            “Makanlah satu kali saja. Kalau perlu tidak usah makan, kalau tak ada waktu. Orang tidak akan mati meskipun tiga tidak makan. Kalau sudah terlatih malah bisa seminggu dan mungkin satu bulan. Makan tidak terlalu penting! Yang lebih penting adalah menghayati hidup dan itu bisa dilakukan dengan bekerja. Bekerja itulah makan.”        
            “Biasakan makan yang tidak enak. Yang murah-murah. Jangan makan makanan hasil pabrik, makanan dalam kaleng, makanan yang diawetkan yang biasanya datang dari luar negeri. Batu pun jadi enak kalau pikiran kita enak. Satu butir nasi pun bisa kenyang kalau tahu cara memakannya. Makan buan kesenangan, tetapi cacat kehidupan. Layani kalau perlu saja, kalau bisa, hidup tanpa makan.”
            Inong bagaikan orang sakti. Apa yang keluar ari mulutnya membuat orang terpesona. Segala buah bicara menjadi acuan dan tak lama kemudian menjadi gaya hidup. Langsung muncul gelombang baru. Hidup tanpa makan. Hidup yang bergengsi adalah hidup yang bebas dari makan.
            Banyak orang mati karena menolak makan.
            Inong sendiri tetap hidup. Sehat. Bahagia. Dan terus mengembangkan renungan-renungannya tentang makan. Ketika ia sudah tua, ia memanggil semua anaknya.
            “Salah satu dari kamu harus menggantikanku menjadi kepala keluarga, “bisik Inong. “Tetapi siapa di antara kamu yang sanggup mengurus segalanya? Ingat betul siapa kamu sebenarnya. Jangan sampai lupa, jangan lengah dan jangan sampai melakukan kekeliruan. Aku ingin kamu meneruskan cita-citaku. Kamu ingat bagaimana kamu harus makan?”
            Semua mengangguk.
            “Tentu saja Pak.’
            “Bagaimana?”
            “Jangan biarkan orang lain makan.”
            Inong memejamkan matanya dengan tenang.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar