Firman Alloh

Senin, 02 Januari 2012

HAKIKAT PEMBELAJARAN CERITA PENDEK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN KANCING GEMERINCING


BAB II
HAKIKAT PEMBELAJARAN CERITA PENDEK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE STAD DAN KANCING GEMERINCING

           
2.1 Pembelajaran
            Pembelajaran hendaknya dibedakan dengan pengajaran. Pembelajaran berasal dari kata dasar ajar yang berarti barang apa yang dikatakan kepada orang lain supaya diketahui atau dituruti (Poerwadarminta dalam Kosadi, dkk, 2000: 6), ditambah prefiks be- menjadi belajar yang berarti melatih daya-daya yang terdapat dalam diri seseorang supaya daya-daya itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya berpikir, daya mengingat, dan perasaan (Hamalik, 1994:74). Kemudian kata belajar tersebut ditambah prefiks pe- menjadi pembelajaran yang berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau mahluk hidup belajar (KBBI, 2005:17). Sedangkan pengajaran berasal dari kata ajar yang ditambah dengan prefiks me- menjadi mengajar yang berarti kegiatan terpadu yang berkesinambungan dengan berbagai komponen (Kosadi, dkk, 2000:6) atau mengajar berarti memberi pelajaran (KBBI, 2005:17). Kemudian kata mengajar tersebut diberi prefiks pe- menjadi pengajaran yang berarti proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan (KBBI, 2005:17). Dengan demikian semakin jelas perbedaan antara pembelajaran dengan pengajaran.
Kosadi, dkk (2000:6-7) menyebutkan bahwa dewasa ini pengertian mengajar mengalami pergeseran makna. Hal ini disesuaikan dengan peran dan fungsi guru sebagai pengajar. Istilah mengajar lebih dititikberatkan pada kegiatan mengarahkan, membimbing, memberikan dorongan, mendesain pembelajaran dan memfasilitasi pembelajaran. Dengan kata lain, istilah pengajaran dewasa ini telah beralih pada istilah pembelajaran. Dengan adanya pergeseran makna tersebut, maka proses pengajaran atau pembelajaran, bukan lagi bertumpu kepada guru, tetapi harus bertumpu kepada siswa sebagai subjek belajar (Suyatno, 2004 : 8).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah pengajaran yang merupakan paradigma lama sudah bergeser pada istilah pembelajaran yang merupakan suatu proses, cara atau perbuatan menjadikan siswa belajar di mana siswa berperan sebagai subjek pembelajaran, dan guru sebagai fasilitator, desainer dan motivator.     

2.1.2 Tujuan Pembelajaran
            Tujuan secara umum merupakan arah, yang dituju, atau maksud (KBBI, 2005:1217). Segala sesuatu harus memiliki tujuan yang jelas, sehingga hasil yang yang diharapkan akan tercapai dengan baik, begitupun tujuan pembelajaran.
            Pada hakikatnya, tujuan pembelajaran adalah hasil yang diharapkan, terjadi perubahan, yaitu perubahan tingkah laku pada diri siswa setelah berlangsungnya proses pembelajaran (Hamalik, 1994: 70). Tujuan pembelajaran meliputi aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dirumuskan secara spesifik, operasional, dan bertitik tolak pada perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur.
            Yang menjadi kunci dalam menentukan tujuan pembelajaran adalah kebutuhan siswa, mata ajaran, dan guru itu sendiri. Hasil yang ingin dicapai dapat ditetapkan berdasarkan kebutuhan siswa. Namun faktor kebutuhan siswa, mata ajaran, dan guru tidak menentukan tercapai tidaknya hasil, karena di samping itu harus ada integrasi dari beberapa pihak selain ketiga unsur di atas yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat (Wardani, 1995: 38). Kerja sama yang baik dari semua faktor yang disebutkan di atas akan sangat membantu mencapai hasil yang diharapkan.    
            Oleh karena itu, seorang guru harus dapat mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam mencapai tujuan, karena seorang guru hendaknya memenuhi syarat, yaitu profesional, personal, morality, dan formality (Amatenbun dalam Wardani, 1995:39).

2.2 Apresiasi
            Apresiasi pada hakekatnya adalah upaya untuk memahami karya sastra, yaitu bagaimanakah caranya untuk dapat mengerti sebuah karya sastra yang kita baca baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya dan mengerti seluk-beluk strukturnya.
            Secara leksikal, appreciation ‘apresiasi’ mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan penilaian dan pernyataan yang memberikan penilaian. Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan keperkaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi dalam Suminto, 1996:2). Menurut Teeuw bahwa apresiasi sastra itu merupakan upaya “merebut makna” karya sastra (dalam Suminto, 1996:2).
            Dalam hal ini, kita tidak dapat begitu saja menjadi apresiator. Supaya dapat mengapresiasi sastra dengan baik terlebih dahulu harus mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan kritik sastra. Karya sastra tidak bisa ditelaah, diuraikan kekhasannya, dan dinilai tanpa dukungan prinsip kritik sastra (wellek dan Warren, 1989: 46).
            Apresiasi harus muncul atas kesadaran dan pemahaman akan nilai-nilai karya sastra. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan guna menumbuhkan kesadaran tersebut. Yaitu:
a. menikmati karya sastra;
b. memasyarakatkan karya sastra dengan berbagai macam cara; dan
c. memotivasi masyarakat pembaca sastra dengan berbagai cara agar lebih tertarik kepada karya sastra.
            Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk dapat memahami karya sastra paling tidak meliputi tiga hal, yaitu: interpretasi atau penafsiran, analisis atau penguraian, dan evaluasi atau penilaian (Simatupang dan Pradopo dalam Suminto, 1997:3). Penafsiran adalah upaya memahami karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu sendiri. Analisis ialah penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya. Penilaian adalah usaha yang menetukan kadar keberhasilan atau keindahan suatu karya sastra.

2.3 Cerpen
2.3.1 Pengertian Cerpen
            Cerpen hendaknya dibedakan dengan sebuah novel yang dipendekkan, atau sinopsis dari sebuah novel. Ada yang mengatakan bahwa cerpen merupakan fiksi yang dibaca selesai dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca.
            Menurut Nurgiyantoro (2007: 10) cerpen adalah cerita yang pendek, tetapi  berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Maka ia mengutip pendapat Allan Poe dalam Jassin (1961: 72) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah  sampai dua jam. Dari pendapat tersebut tersirat bahwa jumlah halaman pada cerpen tidak begitu banyak.
            Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Sumardjo dan Saini (1988: 37) cerpen adalah cerita atau narasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta relatif pendek.  Penceritaan tadi harus dilakukan secara hemat dan ekonomis. Inilah sebabnya dalam cerpen biasanya ada dua atau tiga tokoh saja, hanya ada satu peristiwa dan hanya ada satu efek saja bagi pembaca.
            Panjang atau pendek sebuah cerpen tidak dapat ditetapkan. Pada umumnya panjang sebuah cerpen itu habis dibaca dalam setengah sampai dua jam. Tetapi ini juga bukan sebuah pegangan. Panjang cerpen bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali  yaitu berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan ribu kata. Panjang atau pendeknya sebuah cerpen hanyalah sekedar ukuran, yang penting bahwa cerpen membatasi diri pada satu efek saja.         
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan cerita yang pendek  yang selesai di baca hanya dalam setengah hingga dua jam. Cerpen hanya menceritakan dua sampai tiga tokoh, hanya ada satu peristiwa, dan hanya menimbulkan efek tunggal saja bagi pembaca. Isi yang terkandung di dalamnya disampaikan secara naratif dan bukan argumentatif.

2.3.2 Ciri-ciri Cerpen
            Berdasarkan pendapat yang telah disampaikan di atas, maka cerpen sangat berbeda dengan novel. Dalam sebuah cerpen memiliki ciri-ciri tersendiri. Cerpen relatif lebih pendek (sebab ada pula cerpen yang panjang). Cerpen biasanya terdiri atas 1000 sampai 5000 kata, tetapi itu tidak menjadi ukuran yang mutlak. Cerpen biasanya dapat dibaca selesai dalam sekali duduk. Dalam cerpen kesan tunggal dapat diperoleh dalam sekali baca (caranya yakni dengan mengarahkan plot pada insiden/peristiwa tunggal). Dalam cerpen tokoh jarang dikembangkan, karena langsung ditunjukkan karakternya. Karakter dalam cerpen lebih merupakan penunjukkan (revelation) daripada perkembangan (development). Dimensi waktu dalam cerpen terbatas. Cerpen biasanya membiarkan hal-hal yang dianggap tidak pokok. Cerpen hanya mengungkapkan satu masalah tunggal dengan kata lain cerpen hanya mengandung satu ide pusat. Pemusatan perhatian pada satu tokoh utama, pada situasi tertentu.

2.3.3 Unsur-unsur Cerpen
            Cerpen merupakan sebuah prosa fiksi yang dibangun oleh sejumlah unsur. Setiap unsur saling berkaitan, dan menentukan satu sama lainnya. Karena keterkaitan itu pula, sebuah karya fiksi menjadi sebuah karya sastra yang berstruktur dan bermakna.
            Unsur-unsur pembangun fiksi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji atau membicarakan karya sastra. Menurut Sumardjo dan Saini (1988: 37) bahwa keutuhan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang membentuknya.
            Ada berbagai istilah untuk menyebutkan unsur-unsur pembangun prosa fiksi. Stanton menyebutkan bahwa elemen-elemen pembangun fiksi meliputi fakta cerita, sarana cerita, dan tema (dalam Suminto: 18). Sedangkan Nurgiyantoro (2007: 23) menyebutkan bahwa unsur-unsur yang membangun sastra meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Tetapi pada dasarnya kedua pendapat tersebut sama hanya istilahnya saja yang berbeda.
            Fakta cerita yang dikemukakan oleh Stanton meliputi plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita meliputi unsur judul, sudut pandang, gaya dan nada. Tema merupakan makna cerita, gagasan central, atau dasar cerita. Bandingkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro yang menyebutkan bahwa pembagian unsur pembangun fiksi meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi tema, penokohan, plot, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya. Mengenai unsur ekstrinsik dijelaskan oleh Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2007: 24) meliputi keadaan subjektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya. Di samping itu keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga merupakan unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, dan lain-lain.
            Supaya penjelasan mengenai unsur-unsur pembangun ini lebih terarah, maka akan dikemukan penjabaran dari pendapat yang dikemukan oleh Nurgiyantoro, Wellek serta Warren yang membagi unsur pembangun fiksi ke dalam dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

2.3.3.1 Tema
            Tema merupakan inti cerita secara keseluruhan. Dalam pengertian sederhana Suminto (1997: 118) menjelaskan bahwa tema adalah  makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Tema merupakan dasar cerita, atau sebuah ide cerita yang ingin dikatakan pengarang kepada pembaca, baik masalah kehidupan, pandangan tentang kehidupan, maupun komentar terhadap kehidupan ini.
            Masalah tema sering disamakan pengertiannya dengan topik. Padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Dalam hal ini diperlukan adanya kebebasan dalam menjelaskan pengertian tema. Stanton dan Kenny mengungkapkan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita (dalam Nurgiyantoro, 2007: 67). Sedangkan Sumadjo dan Saini (1988:56) menyebutkan bahwa tema adalah ide sebuah cerita.
            Dalam hal pengetian tema dan topik Suminto (1997:118) menjelaskan bahwa topik dalam suatu karya adalah pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan suatu gagasan sentral, yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui tulisan atau karya fiksi. Jadi sangatlah jelas bahwa topik dan tema sangatlah berbeda.
            Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas mengenai tema dalam sebuah karya sastra,  tema merupakan ide atau gagasan sentral,  dasar cerita, makna cerita yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui tulisan atau karya fiksi.

2.3.3.2 Plot
            Plot berarti alur cerita fiksi yang menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuan tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan. (memiliki hubungan kausalitas). Suminto (1997:18) mengemukakan bahwa plot atau alur cerita sebuah fiksi menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuan atau temporalnya, tetapi juga dalam hubungan- hubungan yang sudah diperhitungkan secara tertentu. Plot merupakan unsur fiksi yang penting. Hal tersebut disebabkan kejelasan plot, kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, apabila plot sebuah karya fiksi kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperistiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami.
            Istilah plot ini banyak yang menyamakannya dengan jalan cerita seperti yang diungkapkan Suminto. Sumardjo dan Saini (1988:48)  menjelaskan contoh populer untuk menerangkan arti plot ialah raja mati disebut jalan cerita, tetapi raja mati karena sakit hati adalah plot. Apa yang disebut plot dalam cerita memang sulit untuk dicari. Plot bersembunyi di balik jalan cerita, tetapi jalan cerita bukanlah plot. Jalan cerita hanyalah manifestasi, bentuk wadah, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Plot memang harus dibedakan dengan jalan cerita. Namun orang sering mengacaukan kedua pengertian tersebut.
            Abrams (dalam Nurgiyantoro: 113) menyetujui adanya perbedaan antara jalan cerita dengan plot seperti yang dikemukan Sumardjo dan Saini, ia mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
            Dalam hal perbedaaan istilah jalan cerita dan plot, Suminto (1997:19) berpendapat bahwa plot hendaknya diartikan tidak hanya sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu, tetapi lebih merupakan penyusunan yang dilakukan oleh penulisnya tentang peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan hubungan-hubungan kausalitasnya.
            Stanton dalam Nurgiyantoro (2007: 113) mengemukan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Kenny dalam Nurgiyantoro (2007:113) berpendapat bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Pendapat senada diungkapkan Foster dalam Nurgiyantoro (2007: 113) bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.
            Plot dengan jalan cerita memang berbeda satu dengan yang lain, tetapi keduanya tidak terpisahkan. Suatu kejadian ada karena ada sebanya dan ada alasannya. Yang menggerakkan kejadian cerita tersebut adalah plot. Suatu kejadian baru dapat disebut cerita kalau di dalamnya ada perkembangan.
            Menurut Loban dalam Aminuddin (2002: 84-85) gerak tahapan cerita mengambarkan seperti halnya gelombang. Tahapan tersebut yaitu :
1)      Eksposisi atau pemaparan adalah proses pemberitahuan informasi yang diperlukan dalam pemahaman cerita. Tahap ini disebut juga tahap perkenalan.
2)      Komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik. Pada tahap ini dimunculkan tanda tanya (sejumlah pertanyaan) pada diri pembaca. Bagian ini berguna untuk merangsang pembaca agar penasaran untuk mengetahui kelanjutan cerita.
3)      Klimaks merupakan titik intensitas tertinggi dari komplikasi. Dari klimaks ini titik hasil cerita akan diperoleh.
4)      Relevasi atau penyingkatan tabir suatu problema. Pada tahap ini konflik-konflik yang terjadi mulai berkurang.
5)      Denauement atau penyelesaian merupakan tahap akhir suatu cerita. Tahap ini merupakan sesuatu yang berasal dari klimaks menuju pemecahan. Tahap ini dapat disebut tahap peleraian.
Berdasarkan tahapan-tahapan cerita yang digambarkan oleh Loban pada bagian atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada umumnya cerita bergerak melalui serangkaian peristiwa menuju klimaks setelah melampaui eksposisi dan komplikasi tertentu dan berakhir sampai pada penyelesaian atau pemecahan cerita secara logis. Sementara itu, di dalam gerakan peristiwa tersebut terdapat kekuatan-kekuatan tertentu yang mendorong adanya kejadian-kejadian atau peristiwa yang merupakan bagian bentuk cerita.
            Sebuah plot akan berbeda-beda jenisnya apabila ditinjau dari segi yang berlainan. Jika ditinjau dari segi penyusunan peristiwa yang membentuknya, ada plot kronologis atau progresif dan plot regresif atau flash back atau back-tracking atau sorot balik. Dalam plot kronologis, awal certa benar-benar merupakan “awal”, tengah benar-benar merupakan “tengah”, dan akhir certa juga benar-benar merupakan “akhir”.hal ini berarti bahwa dalam plot kronologis, certa dimulai dari eksposisi, komplikasi, klimaks dan berakhir pada pemecahan masalah atau denoument. Sebaliknya dalam plot regresif, awal cerita bisa saja merupakan akhir, demikian sterusnya. Nurgiyantoro (2007: 153) menyebut plot ini sebagai plot lurus atau maju untuk plot progresif dan plot sorot balik atau plot mundur untuk plot regresif.
            Jika ditinjau dari segia akhir cerita , dikenal aanya plot terbuka dan plot tertutup. Di dalam plot terbuka cerita biasanya berakhir pada klimas, dan pembaca dibiarkan untuk menentukan apa yang akan menjadi penyelesaian cerita. Akhir cerita dibiarkan menggantung. Sedangkan dalam plot tertutup, pengarang memberikan kesimpulan cerita kepada pembaca.
            Jika dilihat dari segi kuantitasnya atau kriteria jumlahnya, dikenal adanya plot tunggal dan plot jamak atau plot sub-subplot. Suatu cerita dikatakan berplot tunggal, apabila cerita tersebut hanya memiliki atau mengandung sebuah plot dan plot itu bersifat primer (utama). Plot tunggal biasanya terdapat dalam cerita pndek. Sedangkan dikatakan berplot jamak, apabila cerita itu memiliki lebih dari sebuah plot dan plot-plot utamanya juga lebih dari satu buah.
            Jika ditinjau dari segi kualitas atau segi kepadatannya, dikenal adanya plot rapat dan plot longgar. Sebuah cerita dinyatakan berplot rapat, apabila plot utama cerita tersebut tidak memiliki celah untuk disisipi plot lain. sebaliknya, cerita itu dinyatakan berplot longgar, apabila ia memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot lain.
            Jika ditinjau dari segi kriteria isi, dikenal adanya plot peruntungan, plot tokohan dan plot pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, perutungan yang menimpa tokoh utama cerita yang bersangkutan. Plot tokohan ini menyaran adanya sifat pementingan tokoh, tokoh menjadi fokus perhatian. Sedangkan plot pemikiran adalah plot yang mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasan, berbagai macam obsesi, dan lain-lain hal uang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia.  

2.3.3.3 Tokoh dan Penokohan
            Setiap cerita khususnya cerpen tidak terlepas dari tokoh dan penokohan. Tokoh merupakan pemeran penting dalam cerita. Tanpa tokoh rangkaian cerita tidak akan berkembang karena tokoh merupakan penggerak peristiwa. Dalam fiksi sering digunakan istilah tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, serta karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pada pengertian yang kurang lebih sama. Secara bahasa, istilah tersebut tidak merujuk pada pengertian yang sama, tetapi ada perbedaan di dalamnya.
            Menurut Nurgiyanto (2007 : 165) tokoh  menunjuk pada orangnya, pada pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama dalam cerpen itu?”. Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
            Nurgiyantoro (2007 : 165) mengemukan penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, yakni menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgitantoro, 2007 : 165).
            Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh, sebab di dalam penokohan sekaligus juga mencakup siapa yang menjadi tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana pelukisannya dalam sebuah cerita. Karakter, watak, dan perwatakan menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca.
            Menurut Sumardjo dan Saini (1988 : 64) bahwa mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian si penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Dalam hal ini mengandung pengertian bahwa kalau karakter tokoh lemah, maka menjadi lemahlah seluruh cerita. Tiap tokoh semestinya mempunyai kepribadian sendiri. Supaya cerita tersebut bagus dan merangsang minat pembaca, maka tokoh-tokoh dalam cerpen harus mirip dengan kehidupan atau yang biasa disebut dengan lifelikeness ‘kesepertikehidupan’.  
            Menurut Nurgiyantoro (2007 : 176) tokoh-tokoh dalam fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu : (1) tokoh utama dan tokoh tambahan, (2) tokoh protagonis dan tokoh antagonis, (3) tokoh sederhana dan tokoh bulat , (4) tokoh statis dan tokoh berkembang, dan (5) tokoh tipikal dan tokoh netral.

2.3.3.4 Setting atau Latar
            Setting dalam fiksi bukan hanya sekedar background, artinya bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Sebuah cerpen memang harus terjadi disuatu tempat dan dalam satu waktu. Harus ada tempat dan ruang waktu.
            Abrams mengungkapkan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (dalam Nurgiyantoro, 2007 : 216). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sunggu-sungguh ada dan terjadi.
            Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan pula berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Maka dalam hal ini ada yang disebut latar fisik dan latar spiritual.
            Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang sekadar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu, pijakan. Sebuah nama tempat hanya sekedar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tak lebih dari itu. Latar sebuah karya yang hanya bersifat demikian disebut sebagai latar netral (netral setting).
            Lain halnya dengan latar tipikal yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial.    

2.3.3.5 Sudut Pandang
            Sudut pandang atau point of view menurut tergolong ke dalam sarana cerita. Sudut pandang merupakan ketentuan yang dipilih pengarang yang akan berpengaruh sekali dalam menentukan corak dan gaya cerita yang diciptakan. Walaupun Stanton menggolongkannya ke dalam sarana cerita, tetapi bukan berarti sudut pandang tidak penting. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang dalam cerita akan berpengaruh terhadap penyajian cerita.
            Sudut pandang atau point of view merupakan cara pandang yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007: 248). Dengan demikian sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan ceritanya.
Lain halnya dengan pendapat Sumardjo dan Saini (1988: 82) yang mengemukakan bahwa pada dasarnya sudut pandang adalah visi pengarang, artinya sudut pandangan yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian. Dalam hal ini, harus dibedakan dengan pandangan pengarang secara pribadi, sebab sebuah cerpen sebenarnya adalah pandangan pengarang terhadap kehidupan.
Sumardjo dan Saini di atas, Suminto (1997: 98) mengemukakan bahwa sudut pandang yang hanya memasalahkan siapa yang bercerita, merupakan ketentuan yang dipilih pengarang yang akan berpengaruh sekali dalam menetukan corak dan gaya cerita yang diciptakan. Dengan demikian karena watak dan keperibadian si pencerita akan banyak menentukan cerita yang akan dituturkan. Dalam hal ini pengarang harus memilih tokoh manakah dalam fiksinya yang akan disuruh bercerita.
Ada empat macam Sudut pandang yang meliputi (1) Omniscient point of view, (2) objective point of view, (3) point of view orang pertama, dan (4) point of view peninjau.
Omniscient point of view (sudut pandang yang berkuasa). Di sini si pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Dia tahu segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan untuk melengkapi cerita sehingga mencapai efek yang diinginkan. Ia bisa keluar-masukkan para tokohnya. Ia dapat mengemukakan perasaan, kesadaran, jalan pikiran para pelaku cerita. Pengarang juga bisa mengomentari kelakuan para pelakunya. Bahkan pengarang bisa berbicara langsung dengan pembacanya. Sudut pandang ini cocok untuk cerita yang bersifat sejarah, edukatif, dan humoris.
Objective point of view. Di sini pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, pengarang sama sekali tidak memberikan komentar apapun. Pengarang sama sekali tak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku. Dalam hal ini motif tindakan pelakunya hanya bisa kita nilai dari perbuatan mereka. Pengarang sama sekali tak memberi petunjuk atau tuntunan terhadap pembaca. Pembaca hanya menafsirkan cerita berdasarkan kejadian, dialog, dan perbuatan pelaku-pelakunya.
Point of view orang pertama. Gaya bercerita dengan sudut pandangan “aku” inilah yang kebanyakan kita jumpai dalam cerpen Indonesia. Di sini pembaca seolah-olah membaca otobiografi dan bukan membaca fiksi. Dengan teknik ini pembaca diajak ke pusat kejadian, melihat dan merasakan apa yang pengarang ceritakan dalam karya fiksi.
Point of view peninjau. Dalam teknik ini pengatrang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian cerita kita ikuti bersama tokoh ini. Tokoh ini bisa bercerita tentang pendapatnya atau perasaannya sendiri. Lebih jelasnya teknik ini berupa penuturan pengalaman seseorang, si dia. Teknik ini sering disebut teknik orang ketiga yang pelakunya disebut dia, tentu saja lengkap dengan namanya.

2.3.3.6 Gaya
            Gaya merupakan cara khas seseorang dalam  mengungkapkan tulisannya. Peranan gaya dalam fiksi merupakan suatu hal yang penting dan kompleks. Karena dalam gaya kita bisa melihat seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan kemudian menceritakannya dalam sebuah cerita. Gaya dapat disebut juga ciri pribadi dari seorang pengarang.
            Menurut Suminto (1997: 110) gaya merupakan cara yang khas pengungkapan seorang pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya karena seorang pengarang selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaan terhadap sesuatu yang berada di sekitarnya.
            Dalam pengertian umum Abrams yang menyebut gaya dengan istilah stile/ style mengungkapkan bahwa gaya merupakan cara pengungkapan dalam bahasa prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengemukakan sesuatu yang akan dikemukakannya (dalam Nurgiyantoro, 2002 : 276). Gaya ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan bahasa figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain. Ada tiga unsur yang terdapat dalam gaya, yaitu (1) unsur leksikal, (2) unsur gramatikal, dan (retorika).    
            Unsur leksikal atau diksi secara sederhana diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang. Dalam kaitan ini, pengertian denotasi dan konotasi tidak boleh diabaikan. Denotasi sebuah kata ialah arti kata itu yang sesuai dengan kamus, sedangkan konotasi merupakan arti yang diasosiasikan atau disarankan. Singkatnya denotasi adalah arti lugas, dan konotasi adalah arti khas.
            Unsur gramatikal menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam gaya kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata. Oleh karena itu dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa. Adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi.
            Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreatifitas pengungkapan bahasa, yaitu pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.

2.4 Pembelajaran Kooperatif
2.4.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
            Dalam pembelajaran cerpen banyak model pembelajaran yang dapat digunakan, salah satunya adalah pembelajaran kooperatif atau cooperative learning. Pembelajaran kooperatif lebih berpusat pada siswa, guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator. Pada pembelajaran kooperatif siswa dituntut untuk aktif, memiliki tanggung jawab individu terhadap kelompok dan saling melengkapi gagasan antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Dengan mempraktekkan pembelajaran kooperatif berarti guru telah menumbuhkan persahabatan, persamaian, dan rasa sosial yang tinggi.
Menurut Slavin (dalam Isjoni, 2010 : 12) cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja alam kelompok –kelompok kecil secara kolaboratif yang beranggotakan 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen.      

            Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Anita Lie (dalam Isjoni, 2010 : 16) yang menyebut pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas-tugas terstruktur. Lebih jauh dikatakan, pembelajaran kooperatif hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4 – 6 orang.
            Dalam pembelajaran kooperatif terdapat unsur-unsur dasar. Lungdren (dalam Isjoni, 2010 : 13-14) menyebutkan unsur-unsur dasar sebagai berikut.
a.       Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.”
b.      Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
c.       Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
d.      Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok.
e.       Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.
f.       Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
g.      Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Beberapa ahli menyatakan bahwa model ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berfikir kritis, bekerja sama, dan membantu teman. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat meotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya. Kauchak dan Eggen (dalam Isjoni, 2010 : 18) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan.
Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah (1) setiap anggota memiliki peran, (2) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (3) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (4) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
  Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara gotong royong untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

2.4.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
            Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif  membutuhkan partisipasi dan kerjasama dalam kelompok pembelajaran. Tujuan utama dalam penerapan model ini adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
            Stahl (dalam Isjoni, 2010 : 23) mengemukakan bahwa dengan melaksanakan model pembelajaran kooperatif, siswa memungkinkan dapat meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga bisa melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berfikir maupun keterampilan sosial seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan dari orang lain, bekerja sama, rasa setia kawan, dan mengurangi timbulnya perilaku yang menyimpang dalam kehidupan kelas.
            Selanjutnya menurut Sharan (dalam Isjoni, 2010 : 23), siswa yang belajar menggunakan model cooperative learning akan memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung oleh rekan sebaya.
            Pada dasarnya model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting.
a.       Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif dapat memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping itu pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b.      Penerimaan terhadap perbedaan individu
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik atau melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu dengan yang lainnya.
c.       Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak siswa yang kurang dalam keterampilan sosial.
2.4.3 Model-model Pembelajaran Kooperatif
            Model pembelajaran perlu dipahami oleh guru agar dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Dalam penerapannya, model pembelajaran harus dilakukan sesuai kebutuhan siswa karena masing-masing model pembelajaran memilki tujuan, prinsip, dan tekanan utama yang berbeda-beda. Guru profesional adalah guru yang memilki pengetahuan dan persediaan strategi-strategi pembelajaran (Lie, 2002 : 54).
            Menurut Dahlan, model pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunujuk kepada pengajar di kelas. Sedangkan pembelajaran menurut Muhammad Surya merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (dalam Isjoni, 2010 : 49).
            Gagne (dalam Isjoni, 2010 : 50) mengemukakan pendapatnya mengenai pembelajaran, bahwa dalam proses pembelajaran siswa berada dalam posisi proses mental yang aktif, dan guru berfungsi mengkondisikan terjadinya pembelajaran.
            Untuk memilih model yang tepat, maka perlu diperhatikan relevansinya dengan perencanaan tujuan pembelajaran. Semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memilki prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) semakin kecil upaya yang dilakukan guru dan semakin besar upaya yang dilakukan siswa, maka hal itu semakin baik; (2) semakin sedikit waktu yang diperlukan guru untuk mengaktifkan siswa belajar juga semakin baik; (3) sesuai dengan cara belajar siswa; dan (4) dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru.
            Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan, di antaranya yaitu Student Team  Achievement Division (STAD), Kancing Gemerincing, Jigsaw, Teams Games Tournaments (TGT), Group Investigation. Dari beberapa model pembelajaran tersebut, yang akan penulis kemukakan adalah model Student Team Achievement Division (STAD) dan Kancing Gemerincing.

2.4.3.1 Student Teams Achievement Division (STAD)
            STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Tipe ini dikembangkan Slavin menekankan pada adanya motivasi dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Pada proses pembelajarannya, STAD memiliki lima tahapan yang meliputi: 1) tahap penyajian materi, 2) tahap kegiatan kelompok, 3) tahap tes individual, 4) tahap perhitungan sor perkembangan individu, dan 5) tahap pemberian penghargaan kelompok (Slavin, 2009: 143- 163).
1.Tahap penyajian materi. Guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai hari itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari dilanjutkan dengan memberikan persepsi dengan tujuan mengingatkan siswa terhadap materi yang telah dipelajari, agar siswa dapat menghubungkan materi yang disajikan dengan pengetahuan yang dimiliki. Lamanya presentasi bergantung pada kekomplekan materi yang akan dibahas.
Dalam mengembangkan materi pembelajaran perlu ditekankan hal-hal sebagai berikut: a) mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan materi yang akan dipelajari siswa dalam kelompok, b) menekankan bahwa belajar adalah memahami makna, dan bukan hafalan, c) memberikan umpan balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa, d) memberikan penjelasan mengapa jawaban pertanyaan itu benar atau salah, dan e) beralih kepada materi selanjutnya apabila siswa telah memahami materi yang telah dipelajari.
2.            Tahap kerja kelompok, pada tahap ini setiap siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi yang dibahas, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok.  
3.      Tahap tes individu, tes individu ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai mengenai materi yang telah dibahas.
4.      Tahap perhitungan skor perkembangan individu, dihitung berdasarkan skor awal, setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperolehnya. Perhitungan perkembangan skor individual dimaksudkan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi terbaik sesuai dengan kemampuannya. Adapun perhitungan skor perkembangan individu yang dikemukakan Slavin (dalam Isjoni, 2010 : 53) terlihat pada tabel berikut:
Pedoman Pemberian Skor Perkembangan Individu
Skor tes
Skor perkembangan Individu
a.       Lebih dari 10 poin di bawah skor awal
b.      10 hingga 1 poin di bawah skor awal
c.       Skor awal sampai 10 poin di atasnya
d.      Lebih dari 10 poin di atas skor awal
e.       Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal)
5
10
20
30
30
        
Perhitungan skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing perkembangan skor individu dan hasilnya dibagi sesuai jumlah anggota kelompok.
5              Tahap pemberian penghargaan kelompok, penghargaan kelompok diberikan berdasarkan perolehan skor rata-rata yang dikategorikan menjadi kelompok baik, kelompok hebat dan kelompok super. Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan pemberian penghargaan terhadap kelompok adalah sebagai berikut: a) kelompok dengan rata-rata 15, adalah kelompok baik, (b) kelompok dengan skor rata-rata 20, sebagai kelompok hebat, dan (c) kelompok dengan skor rata-rata 25 sebagai kelompok super.  



2.4.3.2 Kancing Gemerincing
            Teknik belajar mengajar kancing gemerincing dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Dalam kegiatan kancing gemerincing, masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pemikiran anggota lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok.
Dalam suatu kelompok biasanya sering ada anggota yang terlalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya ada anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan. Dalam situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok bisa tidak tercapai, karena anggota yang pasif terlalu menggantungkan diri kepada yang dominan. Teknik belajar mengajar kancing gemerincing memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berperan aktif dalam pembelajaran dan memberikan kontribusi.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dengan teknik Kancing Gemerincing.
1.      Guru menyiapkan satu kotak kecil yang berisi kancing-kancing (bisa juga benda-benda kecil lainnya, seperti kacang merah, biji kenari, potongan sedotan, batang-batang lidi, sendok eskrim, dan sebagainya).
2.      Sebelum kelompok memulai tugasnya, setiap siswa dalam masing-masing kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing (jumlah kancing bergantung pada sukar tidaknya tugas yang diberikan).
3.      Setiap seorang siswa berbicara atau mengeluarkan pendapat, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya dan meletakkannya di tengah-tengah.
4.      Jika kancing dimiliki seseorang habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai semua rekannya juga menghabiskan kancing mereka.
5.      Jika kancing sudah habis, sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil kesempatan untuk membagi kancing lagi dan mengulangi perosedurnya kembali.

2.4.3.3 Kolaborasi Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Kancing Gemerincing
            Aspek yang paling penting dalam keberhasilan pembelajaran adalah penguasaan metode pembelajaran. Guru yang baik akan dapat menerapkan metode pembelajaran sesuai dengan apa yang ingin dicapainya. Konsep pembelajaran bahasa Indonesia di masa lalu cenderung menggunakan pendekatan struktural dengan pokok bahasan yang menekankan bunyi, kosakata dan kalimat. Akibat yang muncul antara lain guru lebih menekankan teori dan pengetahuan bahasa daripada keteampilan berbahasa, bahan pelajaran tidak relevan dengan kebutuhan siswa untuk berkomunikasi, struktur bahasa dibahas secara lepas, evaluasi banyak menekankan aspek kognitif, dan proses pembelajaran lebih didominasi oleh guru daripada berpusat pada siswa.
            Dalam hal ini pemebelajaran kooperatif tipe STAD dan Kancing Gemerincing yang menekankan pada kerjasama kelompok dan tanggung jawab individu siswa menjadi pilihan yang patut diteliti. Menurut Isjoni (2010 : 80) teknik pembelajaran tidak harus dipraktekkan seluruhnya di depan kelas, namun sebagai seorang guru yang profesional, guru bisa memilih dan memodifikasi sendiri teknik pembelajaran agar lebih sesuai dengan situasi kelas.
            Dalam penelitian ini penulis mencoba menggabungkan dua pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Kancing Gemerincing. Dengan menggabungkan kedua model pembelajaran tersebut, dimungkinkan akan saling melengkapi kekurangan baik yang ada pada pembelajaran kooperatif tipe STAD maupun tipe Kancing Gemerincing.
            Di atas sudah dikemukakan langkah-langkah pembelaran kooperatif tipe STAD dan Kancing Gemerincing. Apabila dikolaborasikan, maka langkah-langkah pembelajaran tersebut akan seperti sebagai berikut.
1.      Guru memperesentasikan materi pembelajaran yang selanjutnya akan dikembangkan oleh siswa dalam tim.
2.      Guru membagi para siswa ke dalam tim. Setiap tim beranggotakan 4-5 siswa dari berbagai jenis kelamin yang terdiri dari separuh laki-laki dan separuh perempuan; seta dari berbagai tingkat prestasi.
3.      Menetukan skor awal yang digunakan dari hasil nilai pretest.
4.      Guru menyiapkan satu kotak kecil yang berisi kancing-kancing atau benda-benda kecil lainnya yang akan dibagikan kepada setiap siswa dalam masing-masing kelompok. Setiap siswa mendapatkan dua sampai tiga buah kancing sesuai dengan sukar tidaknya tugas yang diberikan.
5.      Para siswa bekerja dengan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi. Dalam kelompok siswa saling memberikan kontribusi dan pengetahuan mereka mengenai lembar kegiatan yang sedang dipelajarinya. Setiap siswa yang berbicara atau mengeluarkan pendapat, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya dan meletakkannya di tengah-tengah.
6.      Jika kancing yang dimilikinya sudah habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai semua rekannya juga menghabiskan kancing mereka.
7.      Jika semua kancing sudah habis, sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil kesempatan untuk membagi-bagi kancing lagi dan mengulangi prosedurnya kembali.
8.      Para siswa mengerjakan kuis-kuis individual.
9.      Rekognisi tim. Menghitung skor tim berdasarkan skor kemajuan.

2.5 Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek dalam Kurikulum
2.5.1 Kurikulum 2006 (KTSP)
            Pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang perlu mendapat penanganan secepatnya, di antaranya berkaitan dengan masalah relevansi, atau kesesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Dalam kerangka inilah pemerintah menggagas KTSP, sebagai tindak lanjut kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi (Mulyasa, 2008: 19).
            KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (1) dan (2). KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan. Pengembangan KTSP mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun BSNP serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah (Mulyasa, 2008: 24).
            Pembelajaran mengapresiasi cerpen di SMA kelas X terdapat dalam KTSP semester satu. Fokus pembelajaran mengapresiasi tersebut terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pada pembelajaran apresiasi ini lebih ditekankan pada hal-hal yang menarik dari cerpen, baik dari segi tema, tokoh dan plot, setting, sudut pandang maupun gaya. Teknik pembelajaran yang disarankan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar adalah diskusi.

2.5.2 Latar Belakang
            Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secar lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra.
            Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, naional dan global.
            Dengan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia ini diharapkan sebagi berikut.
1)        Peserta didik dapat mengembangkan potensinya seuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri.
2)        Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar.
3)        Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya.
4)        Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah.
5)        Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia.
6)        Daerah dapat menentukan bahan ajar dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap meperhatikan kepentingan nasional.

2.5.3 Tujuan
            Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memilki kemampuan sebagai berikut.
1)        Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulisan.
2)        Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.
3)        Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
4)        Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
5)        Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan kemampuan berbahasa.
6)        Mengahargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

2.5.4 Ruang Lingkup
            Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Akhir dari pendidikan di SMA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya lima belas buku sastra dan nonsastra.

2.5.5 Program Pengajaran Sastra
            Program pengajaran bahasa Indonesia di SMA terbagi atas empat aspek, yaitu aspek mendengarkan berbicara, membaca, dan menulis. Berikut rincian keempat aspek tersebut.

1)        Mendengarkan
Memahami wacana lisan dalam kegiatan penyampaian berita, laporan saran, berita, pidato, wawancara, diskusi, seminar, dan pembacaan karya sastra berbentuk puisi, cerita rakyat, drama, cerpen dan novel.
2)        Berbicara
Menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi dalam kegiatan berkenalan, diskusi, bercerita, presentasi hasil penelitian, serta mengomentari pembacaan puisi dan pementasan drama.
3)        Membaca
Menggunakan berbagai jenis membaca untuk memahami wacana tulis teks nonsastra berbentuk grafik, tabel, artikel, tajuk rencana, teks pidato serta teks sastra berbentuk puisi, hikayat, novel, biografi, puisi kontemporer, karya sastra berbagai angkatan dan sastra melayu klasik.
4)        Menulis
Mengguanakan berbagai jenis wacana tulis untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan informasi dalam bentuk tes narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, teks pidato, proposal, surat dinas, surat dagang, rangkuman, ringkasan, notulen, laporan, resensi, karya ilmiah, dan berbagai karya sastra berbentuk puisi, cerpen, drama, kritik dan esei.

              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar