BAB I
KEBANGKITAN ISLAM
DAN NEGARA-NEGARA KAWASAN
ARAB
Kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah nasional yang
menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta gerakan
(harakah) dan jihad. Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat Islam
sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan yang
menimpa. Beranjak dari kesadaran ini, mereka menemukan kesadaran baru, yaitu:
menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan menggairahkan gerakan Islam.
Dalam hal ini, Al-Qur'an telah mengisyaratkan melalui kisah perjalanan Bani
Israil (awal surat al-Israa') dan Al-Hadits yang menjelaskan tentang lahirnya
pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun membuktikan isyarat ini.
Kebangkitan yang sedang kita perbincangkan ini merupakan fase
kesadaran baru yang sedang marak di Dunia Arab Islam pasca fase kehinaan akibat
kolonialisme. Kebangkitan Islam mulai muncul menjelang Perang Dunia II pecah
dan semakin kokoh pada era sesudahnya hingga mencapai momentum perkembangan
yang paling spektakuler sejak akhir dasawarsa 1970-an.
Kebangkitan ini semakin mengakar dalam organisasi-organisasi Islam
yang membawa kesadaran baru. Berdirilah misi-misi Islam yang mengembalikan
kepercayaan mengenai kebenaran Islam dan kebesaran sejarahnya. Kebangkitan
Islam mengambil bentuk aktivitas sosial yang mendidik generasi muda,
memakmurkan masjid, dan membersihkan sifat-sifat tercela. Selain itu, kebangkitan
Islam bergerak dalam bidang politik untuk menempatkan Islam dalam politik dan
jihad. Mungkin sebagian besar perhatian ditujukan kepada al-Ikhwan al-Muslimun
dan Jihad Islam, namun sebenarnya kebangkitan ini digerakkan oleh banyak
organisasi Islam, meskipun tidak seluruhnya menarik untuk diperbincangkan.
Bahkan, gerakan kebangkitan Islam tidak bisa hanya dihubungkan
dengan pemikiran para pionir aktivis yang terorganisir an sich, melainkan harus
pula melihat kecenderungan-kecenderungan pemikiran yang lain. Fenomena sosial
yang luas dan kesadaran membaja untuk memisahkan diri dari gaya hidup Eropa dan
kembali ke pangkuan Islam telah mendorong umat untuk menerapkan nilai-nilai
Islam dalam realitas kehidupan.
Persoalan kebangkitan tidak terbatas pada gerakan kebangsaan,
sebab disetujui atau tidak, sistem pemerintahan pun ikut memainkan peran
tertentu dalam konteks kebangkitan. Peran tersebut tampak pada perilaku
politik, apalagi dalam dunia pers dan pendidikan hukum, serta terutama dalam
upaya menerapkan syariat Islam. Dapat ditarik suatu hipotesis bahwa kebangkitan
Islam telah menjadi kekuatan sejarah yang sempurna.
Kebangkitan Islam menimbulkan berbagai pengaruh bagi Dunia Arab.
Kebangkitan merupakan respon terhadap berbagai tantangan dan bekerja sama
dengan kekuatan sejarah lain yang bergerak di negeri-negeri lain. Dalam
pengertian, kebangkitan Islam tidak hanya bergumul dengan ideal-ideal Islam
saja, melainkan juga dengan realitas serta berbagai aliran dan paham.
Karenanya, kita terkadang masih perlu mengembalikan wacana tentang kebangkitan
Islam kepada akar-akar pemikiran Arab secara keseluruhan. Ini karena esensi
kebangkitan tidak dapat dipahami tanpa mengembalikannya kepada akar-akar ini.
Penyertaan Qatar dalam pembahasan ini hanyalah sebagai negara yang
mewakili tipe pemerintahan dalam masyarakat yang mempertahankan eksistensi
keeropaan dan keislaman menuju satu kesatuan yang melampaui batas-batas
geografis. Oleh karenanya, pembahasan ini terkadang tertuju kepada fanatisme
nasional yang mengarah pada pemeliharaan negeri Qatar.
Bila kita berbicara mengenai kebangkitan sistem pemerintahan
negara-negara Arab, maka sebaiknya kita mengingat bahwa masalah integrasi atau
disintegrasi tidak dapat dikesampingkan. Meskipun secara teoretis, yang
dijadikan objek kajian adalah nilai-nilai Qatar dan keintegrasiannya, namun
situasi yang diamati adalah dampak kemerdekaan masyarakat Qatar dan integrasi
dengan nilai-nilai Islam. Dampak langsung dari integrasi adalah tenggelamnya
sistem lama di Qatar dan menangnya sistem lain. Kita akan mencermati contoh
tersebut pada pembahasan mendatang.
Negara-negara Arab tidaklah terputus dari lingkungan sekitarnya.
Demikian pula kebangkitan Islam tidak hanya mengakar di bumi Arab. Islam
merupakan agama mayoritas masyarakat Arab, Afrika, dan Asia. Dalam perspektif
historis, gerakan-gerakan Islam saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama
lain.
Dewasa ini, kebangkitan Islam merupakan fenomena internasional
dengan berbagai macam topik diskursus yang menantang. Hal ini disebabkan oleh
eksistensi Islam yang mencoba merespon situasi yang dihadapi dunia, yaitu:
imperialisme politik, serangan kebudayaan Barat, kegagalan sistem sekular yang
ditinggalkan kaum imperialis kepada negeri-negeri Islam, dan revolusi
kebangkitan Islam dalam bentuk revolusi hubungan elite. Kebangkitan Islam-Arab
bekerja sama secara revolusioner dan intelektual dengan kebangkitan-kebangkitan
di berbagai tempat dan situasi. Realitas Dunia Arab berhubungan dengan realitas
Dunia Islam dan internasional. Berbagai kendala dan situasi kebangkitan Islam
tak dapat dipahami tanpa menyinggung dimensi internasional.
BAB II
UMAT DAN NEGARA-NEGARA KAWASAN ARAB
DALAM SEJARAH ISLAM
Islam menyatukan antara ideal-ideal absolut dan realitas nisbi.
Ideal-ideal ini diabstraksikan dalam ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin syariah.
Realitas merupakan kejadian-kejadian material dan situasional yang melingkupi
kehidupan manusia. Sedangkan keberagamaan adalah kepercayaan psikis terhadap
doktrin-doktrin kebenaran yang absolut, dan usaha kesejarahan merupakan upaya
mendekatkan realitas dengan doktrin-doktrin, mengkontekstualkan iman dalam
bentuk realitas yang paling ideal, dan selanjutnya berusaha terus menerus
mengembangkan keagamaan menuju titik kesempurnaan ideal.
Bentuk negara Islam yang pertama dalam sejarah adalah negara
Madinah yang dipandu oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk keperluan pertumbuhan
regional, Rasulullah saw. menggariskan aturan-aturan regional. Al-Qur'an pun
menetapkan pada akhir surat al-Anfal mengenai batasan-batasan loyalitas
masyarakat yang terdiri atas penduduk asli dan imigran agar saling menjaga dan
membantu.
Negara Madinah merupakan realitas regional yang berwawasan
internasional. Negara ini telah melampaui realitas zamannya, sebab penduduknya
percaya bahwa mereka merupakan bagian dari mata rantai umat Islam sebelumnya
yang dipimpin para Rasul. Secara psikis, Madinah pun telah melampaui realitas
regionalnya, sebab penduduknya telah terlibat aktif dalam konflik internasional
dengan Persia dan Romawi, khususnya dalam konflik ekonomi, politik, dan agama.
Negara Madinah dengan kondisinya tersebut kemudian mengokohkan Dunia Arab dan
seluruh umat manusia di sana sebagai basis dan alat integrasi. Hal itu
dikarenakan Arab mempunyai misi samawi.
Negara ideal berikutnya adalah Khilafah Rasyidah. Dalam sistem
ini, penguasa menjadi pusat dan dorongan umum berangkat dari pusat kekuasaan.
Dakwah dijalankan secara luar biasa hingga terbentuklah wilayah-wilayah baru
yang berjauhan dan dihuni oleh masyarakat yang plural. Dipergunakanlah
ungkapan-ungkapan politik syar'i yang sebagian kembali kepada masa kenabian.
Negara-negara Arab merupakan dasar pembagian wilayah pemerintahan umum,
peradilan, dan distribusi kekayaan. Dalam potret semacam ini, kesatuan
kepemimpinan khilafah dijalankan tanpa pembagian kekuasaan. Di samping itu,
terdapat kesatuan geografis Islam yang semula tidak mengenal kendala-kendala
internal.
Meski terjadi perpecahan di kalangan penguasa serta fanatisme
wilayah, etnis, dan golongan --setelah terjadi sistem pewarisan khilafah--
namun pola umum negara masih tetap berpedoman pada sistem kesatuan (integrasi).
Para fuqaha yang juga merupakan para pemimpin bangsa dan idola masyarakat.
Meskipun bersikap wajar terhadap para pemberontak, tetapi mereka tetap
mentolerir pembagian wilayah dan upaya integrasi. Sedangkan dalam hal
pemikiran, mereka mengakui eksistensi mazhab-mazhab dan kebebasan mengikutinya.
Pola ini berjalinan dengan faktor-faktor pengimbang yang ditemakan
oleh masyarakat muslim dalam keluasan dan kecepatan ekspansinya untuk mewadahi
pluralitas masyarakat dan kebudayaan. Ketika kondisi tersebut tidak diimbangi
dengan usaha-usaha integrasi, maka khalifah pada gilirannya hanya menjadi
simbol dan hanya mampu bertahan ketika kekuatan pusat pemerintahan semakin
menurun. Sehingga kondisi kritis mulai terjadi, fanatisme kelompok bermunculan,
dan wilayah-wilayah lain beroposisi untuk membangun pola baru dalam realitas
politik umat Islam.
Pola yang meniscayakan Dunia Islam hingga saat ini adalah satu
bentuk pemerintahan dengan kesatuan umat (integrasi) dan meninggalkan kesatuan
politik karena tersebar luasnya negara-negara Islam. Sebagian negara Islam
mengalami perkembangan karena kemampuannya membuka diri untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang yang ditimbulkan akibat letak wilayah yang jauh dari
pusat.
Pemerintahan Islam telah memelopori bahwa batasan-batasan regional
tidak membagi-bagi kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa politik. Hanya ada satu lapangan ilmiah, pasar ekonomi, dan
konteks kebangsaan. Kesatuan undang-undang juga menjaga dominasi hukum-hukum
syariat sehingga berkembanglah mazhab-mazhab fikih dan metode-metode tasawuf
untuk menegaskan kesatuan umat dalam paguyuban tarekat. Suatu prediksi dapat
dikemukakan bahwa wilayah Islam akan semakin menyatu secara peradaban melalui
tersebarnya berbagai mazhab dan tarekat, pertukaran ilmu dan kebudayaan, dan
komunikasi melalui migrasi manusia, ilmu, dan agama. Hal itu terjadi dalam
kurun waktu yang panjang pasca runtuhnya pusat politik dan kediktatoran para
penguasa di negara-negara Arab. Islam, pemanduan syariat, dan terbukanya
kawasan merupakan faktor-faktor penjaga kesatuan umat.
Ketika Islam tidak lagi difungsikan sebagai pengikat hati antar
umat, dihapuskannya syariat, dan penjajahan imperialis, maka negara-negara Arab
pun terpecah belah. Tak ada yang tersisa dari wilayah Islam kecuali hanya
persaudaraan dalam jiwa kaum muslimin, kegetiran masa lampau, dan mimpi masa
depan.
BAB III
UMAT DAN NEGARA-NEGARA KAWASAN EROPA:
SEBUAH STUDI KOMPARASI
Perkembangan negara-negara Eropa disebabkan oleh terlepasnya
mereka dari agamanya, konflik berkepanjangan dalam masyarakat dan pemerintahan,
dan terlampau beratnya penderitaan yang mereka rasakan. Sementara itu, ekspansi
Islam menjanjikan kehidupan baru bagi mereka. Sejarah Eropa menengarai bahwa
kejatuhan tersebut bukan disebabkan oleh kelengahan, melainkan karena
mengingkari dasar-dasar agama mereka. Jika cita-cita kebangkitan kaum muslimin
diilhami oleh Kitab Suci yang terjaga (Al-Qur'an), maka masyarakat Barat
menoreh sejarah mereka dengan revolusi anti-agama.
Mayoritas masyarakat Eropa berada di bawah pengaruh Kristen selama
lebih dari sepuluh abad. Menurut mereka, kondisi tersebut merupakan contoh
ideal tentang nasionalisme dan peradaban bagi dunia internasional. Dalam
pandangan mereka, contoh ideal tersebut berupa kebesaran imperium dan hubungan
harmonis dalam hak milik nasional dan negara-negara Eropa. Kemudian
nasionalisme mulai memberi kekhususan kepada para raja. Negara-negara kawasan
ini semakin kokoh menuju terbentuknya Eropa modern.
Kehancuran sistem internasional lama telah memicu lahirnya
teori-teori kekuasaan yang memberi penekanan pada dominasi absolut dalam
batas-batas regional seperti teori Machiavelli. Dominasi ini tampak jelas pada
propaganda-propaganda imperium, Paus, dan kaum feodal. Teori-teori sosial itu
mengokohkan dominasi raja dan para penguasa secara absolut.
Kemudian pemikiran politik mulai berkembang dan menyuarakan
dominasi bangsa dan ide liberalisme demi keuntungan individu (yang diprakarsai
John Locke, para pakar psikologi sesudahnya, dan kelompok radikal),
kelompok-kelompok reformasi cita-cita umum (teori Rousseau), pelestarian
sejarah masyarakat (teori Hegel), dan komunisme-materialisme (teori Karl Marx).
Nasionalisme telah menguatkan posisi negara yang mengambil bentuk
politik, ekonomi, dan solidaritas sebagai pengisi kekosongan agama. Tumbuhlah
perasaan khusus nasionalisme serta kekhususan bahasa dan tata bahasanya.
Sejarah nasionalisme bergerak melemahkan kekhususan-kekhususan tersebut dengan
berbagai utopia dan data. Nasionalisme membanggakan hal tersebut. Isme ini
tumbuh di benua Eropa dan Amerika.
Meskipun dominasi nasionalisme di Eropa membawa pertumbuhan
material, namun akhirnya Eropa merasa gamang terhadap penyimpangan pola negara
semacam ini. Mungkin kegamangan tersebut merupakan dampak tradisi kebudayaan
yang plural, perkembangan teori kemanusiaan, berbagai konflik nasional, dan
terbatasnya ekspansi Eropa. Maka berdirilah sistem negara-negara Eropa di atas
kaidah undang-undang negara. Negara-negara ini mempunyai kawasan yang terbatas,
namun tenggelam dalam konflik pada masalah-masalah yang telah disepakati kaum
muslimin di kawasan Daulah Islamiah.
BAB IV
KESATUAN EKSTERNAL MENUJU PLURALISME INTERNAL
DI DUNIA ARAB
Kawasan negara-negara Arab telah keluar dari kekuasaan
administratif kekhalifahan Utsmani. Pada umumnya, negara-negara tersebut
memisahkan diri karena pengaruh kemerdekaan politik negara-negara imperialis.
Pemisahan perdana merupakan sarana munculnya nasionalisme Arab, sebab hal itu
merupakan bentuk pemerdekaan dari ikatan keagamaan dan beralih menjadi
nasionalisme. Fenomena tersebut tidak persis sama dengan yang terjadi di Eropa,
sebab ia bukan hasil perkembangan teoretis dan material sebagaimana yang
terjadi di Eropa. Nasionalisme Eropa merupakan produk yang terkait dengan
eksperimen dan faktor-faktor Eropa.
Eksperimen yang pernah dilakukan orang-orang Islam dan mayoritas
orang-orang Nasrani Arab berbeda dengan yang terjadi dalam sejarah Eropa.
Masyarakat Barat meyakini eksperimen Eropa sebagai eksperimen murni dan
memandang dirinya sebagai pusat kebangkitan dan contoh ideal pencerahan umat
manusia.
Padahal yang harus diketahui adalah bagaimana strategi Eropa dalam
menghadapi kekhilafahan Utsmani di medan perang dan kepiawaian memanfaatkan
propaganda, hubungan politik, dan diplomasi demi keuntungan mereka. Selain itu,
terjadi perang intelektual antar keduanya. Walaupun sebenarnya persatuan umat
Islam dalam kekhalifahan Utsmani masih terasa, tetapi tidak mencapai prestasi
nasionalisme Eropa karena perbedaan perkembangan sejarah masing-masing.
Sekiranya Arab keluar dari kekuasaan Utsmani dan berdiri di atas
landasan nasionalisme, tentu ia tidak mampu. Malah sebagai ganti penguasaan
kekhilafahan Utsmani, berdirilah imperialisme di Dunia Arab. Akhirnya
imperialisme membagi-bagi pengaruh dan batas-batas wilayah Arab berdasarkan
realitas regional historis masing-masing wilayah yang sebelumnya bersatu.
Imperialisme telah mengokohkan status pembagian tersebut untuk menarik
keuntungan jangka pendek dan panjang, apalagi mereka bermaksud melapangkan
jalan bagi kehadiran Zionisme di tengah-tengah Dunia Arab dan memutuskan
hubungan Arab dengan Dunia Islam.
Ketika bangkit keinginan melepaskan diri dari cengkeraman
imperialisme, gerakan pembebasan Arab segera memisahkan diri dari
kelompok-kelompok yang terpengaruh kebudayaan Eropa. Kelompok-kelompok nasional
gigih memperjuangkan tercapainya kemerdekaan bagi negara yang mandiri, tetapi
dengan konsep-konsep Eropa.
Masyarakat merasa perlu mengedepankan warisan keagamaannya untuk
mengisi kesenjangan dan memfungsikan simbol-simbol keagamaan untuk
membangkitkan semangat melawan kekuatan asing yang kafir. Dalam konteks ini,
Islam merupakan unsur pembentuk jati diri negara dan pemantik semangat
kebangsaan. Sangat memungkinkan untuk menggunakan faktor kekuatan Islam itu
bila perjuangan menemui jalan buntu. Seluruh wilayah Afrika Utara adalah contoh
terbaik dari kasus ini, apalagi perjuangan kaum muslimin Aljazair melawan
imperialisme Perancis. Gema Islam pun terdengar hingga di Sudan, meskipun
kontrol Arab-Islam di negara ini melemah.
Peran Islam dikenal pula dalam perjuangan nasional di luar
negara-negara Arab, termasuk di negara-negara Asia seperti Iran, Afganistan,
dan Pakistan. Peran ini tampak pada syiar yang ditonjolkan pasca-kemerdekaan.
Akan tetapi, meski masyarakat muslim berkuah darah dalam perjuangan nasional,
tetapi yang menikmati kue kemerdekaan adalah para nasionalis, sedangkan
orang-orang Islam hanya menjadi penonton. Peran yang dilakoni dalam perjuangan
kini tinggal kenangan. Itulah sebabnya, Islam tidak berperan lagi dalam
mempengaruhi proses integrasi negara-negara Arab yang mandiri.
Meskipun kelompok pembebasan nasional di Dunia Arab berpedoman
sekularisme dalam pembangunan negara, tetapi upaya tersebut tidak sukses
sebagaimana keberhasilan Turki Muda mendepak sistem kekhalifahan. Mereka hanya
berhasil mendirikan dasar-dasar negara nasional dan mempersoalkan integrasi.
Konsep negara sekular semakin mendorong negara-negara Arab untuk meninggalkan
sistem syariat dan mengembangkan sistem perundang-undangan yang tidak
berdasarkan Islam. Sebagai contoh adalah Hizbul-Wafd (Partai Wafd) dan
Hizbud-Dustuuri (Partai Perundang-undangan) di Tunisia.
Sebagian negara Teluk Arab selamat dari sekularisasi.
Negara-negara tersebut tidak mungkin berdiri dengan batas-batasnya sendiri
kecuali dengan desakan imperialisme atau situasi sejarah.
Walau negara-negara Arab memupuk fanatisme dan nasionalisme
--bukan solidaritas kawasan-- namun hal tersebut tidak sampai memutuskan
hubungan antar bangsa seperti di Eropa. Sejarah Arab kontemporer mencatat
adanya berbagai ikhtiar untuk berintegrasi yang tak menyerupai bentuk integrasi
apa pun di muka bumi, sebab negara-negara Arab mengupayakan integrasi dengan
nasionalisme dan agamanya. Libya berusaha berintegrasi dengan lima negara Arab,
serta Mesir dan Suriah masing-masing dengan empat negara. Tidak ada negara Arab
yang tidak berusaha untuk berintegrasi, meskipun kenyataannya mereka masih
terpecah-pecah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar